“Rif, makan yuk? aku laper nih.” Ajak Faris kepada Arif yang sedang mengambil foto pameran karya ilmiah.
“Oke bentar, aku ngambil tas dulu.” Jawab Arif sambil berlari mengambil tasnya.
Suasa sekolah tampak begitu ramai. Hari ini sekolah mereka merayakan
hari ulang tahunnya. Banyak sekali perlombaan yang diselenggarakan.
Cuaca sangat mendukung, tidak panas dan tidak terlalu dingin. Semua
siswa hingga guru menikmati hari ulang tahun yang seru ini.
Ketika tiba di kantin, ternyata Faris tak hanya mengajak Arif. Dia
mengajak Samir dan Salman. Mereka semua adalah teman sekelas. Hampir
setiap hari mereka selalu berempat. Namun, kali ini ada pemandangan
berbeda. Salman tampak sedih dan gelisah. Wajahnya merah padam dan
badannya bercucuran keringat. Berbeda dengan Samir, dengan senyum
khasnya dia menyapa kedua temannya itu. Samir berlari dengan wajah yang
sumringah.
Samir membawa sebuah kantong plastik berwarna merah di genggaman
tangannya. Kantong tersebut terlihat begitu besar. Dengan tubuhnya yang
kecil, dia terlihat lucu karena Samir tampak keberatan membawa plastik
tersebut.
“Assalamualaikum! Nih, aku bawakin nasi kuning.” Sapa Samir kepada teman-temannya yang sudah duduk di bangku kantin.
“Waalaikumsalam!” Jawab Arif, Salman, dan Faris hampir serentak.
“Wah, masih ada sisa ya, Mir?” Tanya Arif sambil membuka kantong plastik dagangan Samir.
“Alhamdulillah, ini sengaja aku sisakan untuk kalian. Sejak hari ulang
tahun sekolah diselenggarakan, daganganku sepi pembeli, teman-teman
lebih suka jajan di luar.” Jawab Samir sambil mengelap peluh
keringatnya.
“Nggak apa, Mir. Yang penting kami semua kebagian berkahnya.” Timpal Faris sambil bercanda.
Saat semuanya menikmati nasi kuning Samir, Salman masih tampak sedih
dan enggan berbicara. Faris yang terkenal jahil melempari wajahnya
dengan butiran nasi kuning yang berjatuhan di lantai.
“Kenapa, Man? Wajahmu tampak sedih sekali.” Tanya Faris yang masih melempari wajah Salman dengan butiran nasi kuning.
“Nggak apa, aku lagi males ngomong aja…” Tiba-tiba pembicaraan Salman
terpotong ketika melihat sesuatu. Pandangan Salman terfokus kepada
seorang wanita yang duduk di sebelah bangku mereka. Wanita tersebut
adalah adik kelas mereka. Wajah Salman yang semula bersedih berubah
menjadi senang bukan kepalang. Bibirnya yang pucat pasi mendadak menjadi
terbuka lebar setengah tersenyum. Semua teman-temannya juga ikut
terfokus terhadap satu pandangan. Mereka semua seperti orang yang gila
yang selalu tersenyum sendiri.
“Dek, ini es tehnya.” Perkataan ibu kantin membuyarkan suasana.
“Oh iya makasih bu. Taruh aja di situ.” Jawab Arif sambil membagikan es teh kepada teman-temannya.
“Subhanallah.. Subhanallah.. Subhanallah.” Ucap Salman dengan mata yang sedikit melotot.
“Iya, Man. Subhanallah ya.. Sesuatu..” Timpal Faris sambil memasukkan kecap ke dalam nasi kuning miliknya.
Cerita adik kelas yang mereka temui di kantin ternyata tak berhenti
begitu saja. Dari mereka berempat, ternyata Salman yang paling mengagumi
adik kelas itu. Salman sudah terlanjur terpukau akan kecantikan adik
kelasnya yang berhijab itu. Wajahnya oval, berhidung mancung dan
kulitnya yang putih langsat membuat Salman tak dapat melupakan wajahnya
begitu saja.
Setelah bel istirahat berbunyi, Salman berjalan menyusuri tangga
kelas. Melangkahkan kakinya menuju mushola Sekolah. Sudah menjadi
kebiasaan sehari-hari baginya untuk Shalat Dhuha pada jam istirahat
pertama. Saat hendak membasuhkan tangan dengan air wudhu, Salman melihat
adik kelas yang dikaguminya. Dia melewati mushola bersama ketiga
temannya. Mereka bertiga berjalan sambil bersenda gurau. Air keran yang
dibukanya tanpa sadar masih terus mengalir.
“Astaghfirullah Salman! Jangan buang-buang air gitu dong.” Kata bang Amir.
“Aduh, maaf bang. Nggak sengaja.” Jawab Salman sambil menutup keran.
“Pasti kamu ngeliatin Dina, ya?” Tanya bang Amir sambil melirik ke arah kiri.
“Dina? Siapa Dina?” Jawab Salman tak mengerti.
“Itu Dina. Adik kelas yang terkenal karena kecantikannya. Akhir-akhir
ini Dina menjadi buah bibir banyak orang.” Jelas bang Amir sambil
menunjuk ke arah Dina.
“Oh, namanya Dina. Bang, kenalin aku dengan dia dong!” Pintah Salman sambil merangkul bang Amir.
“Gimana ya. Insya Allah deh, nanti aku mintakan nomor handphonenya dari
adikku yang kebetulan sekelas dengan dia.” Jawab bang Amir sambil
tersenyum.
“Afwan bang! Engkau adalah abang kelasku yang paling cool!” Puji Salman sambil memukul pundak bang Amir.
“Kalau ada maunya saja kamu memujiku.” Jawab bang Amir sambil memegang pundaknya.
Halaman sekolah terlihat begitu padat dan penuh sesak. Semua orang
ingin pulang dengan segera. Hanya beberapa saja yang keluar dengan rapi.
Salman, Arif, Faris, dan Samir berjalan serempak keluar dari toilet
sekolahnya. Dengan penuh canda mereka meramaikan suasana. Tangan Samir
membawa gumpalan kertas dan dilambungkan ke udara. Topi Faris
dicampak-campakan ke langit-langit sekolah oleh Arif dan Salman.
Jalan menuju tempat parkir sekolah yang melewati perpustakaan
terlihat sepi. Hanya mereka berempat yang menggesekan kaki di lantai
siang itu. Namun, dari kejauhan tampak seorang wanita yang duduk
sendirian seperti menunggu sesuatu. Pada awalnya mereka berempat tidak
terlalu perduli, tetapi semakin dekat dengan wanita tersebut, Salman
menjadi sedikit berfikir. Sepertinya itu Dina, dalam benaknya.
“Bentar.. Bentar.. Aku ke sana bentar ya.” Kata Salman sambil menolehkan pandangan ke arah Dina.
“Eh mau kemana? Aku duluan ke parkiran bro” Ujar Faris sambil melambung-lambungkan kunci motornya.
“Aku dan Samir ikut kamu, Ris.” Jawab Arif.
“Iya, ntar aku nyusul.” Ujar Salman yang sudah tidak sabar untuk menemui Dina.
Langkah kaki yang kaku membuat Salman terlihat canggung siang itu.
Wajahnya penuh keringat mencoba mendekati Dina yang sedang duduk cemas.
Tangan yang dimasukkan ke dalam saku sedikit mengobati gugupnya Salman.
Suara kicauan burung menemani ketukan langkah kaki Salman. Rambut yang
semula rapi, sedikit acak-acakan karena tertiup angin.
“Assalamualaikum. Dina, ya?” Salam Salman sambil tersenyum.
“Waalaikumsalam. Iya. Kamu siapa, ya?” Jawab Dina dengan raut wajah heran.
“Aku Salman, anak XII IPA 3. Salam kenal, ya.” Salam kenal dari Salman dengan tangan yang masih di saku.
“Oh kakak kelas dong. Iya bang, salam kenal juga.” Jawab Dina. Mereka berdua saling tersenyum.
Tak lama dari percakapan itu, Salman meninggalkan Dina begitu saja.
Wajahnya berseri-seri seperti baru mendapat gaji. Salman melangkahkan
kakinya dengan setengah berlari. Dia menyusul temannya yang sudah
menunggu di tempat parkir sekolah. Teriak kegembiraan terdengar dari
wajah Salman. Teman-temannya heran dengan wajahnya yang tak terlihat
seperti biasanya.
“Kenapa, Man? Kok wajahmu cerah bener?” Tanya Samir keheranan.
“Ah nggak, pulang yuk!” Ajak Salman sambil menghidupkan motor bututnya.
Pagi yang tak biasanya bagi Salman. Setelah mendepat nomor handphone
Dina dari bang Amir, Salman menjadi semakin dekat dengan Dina.
Hari-harinya berbeda tak seperti biasanya. Teman-temannya menjadi nomor
dua saat di sekolah. Pagi ini Salman akan berjumpa dengan Dina di
samping lapangan basket. Ada hal yang ingin dibicarakan oleh Dina. Suatu
hal yang tak dapat ditunggu oleh Salman.
Parkiran terlihat masih sepi. Hari ini Arif, Faris, Salman, dan Samir
datang lebih awal tak seperti biasanya. Motor Vespa yang digunakan Arif
dan Faris menyapa tempat parkir sekolah dengan suara khasnya. Sedangkan
motor Astrea Salman dan Samir memberi salam dengan bunyi klakson yang
selalu dibunyikan ketika memasuki gerbang sekolah. Klakson tersebut
menegur satpam sekolah yang sudah sejak jam lima pagi duduk di pos
satpam. Pak Bobi namanya, sudah lima belas tahun pak Bobi mengabdikan
hidupnya di sekolah mereka. Mereka berempat sudah begitu akrab dengan
pak Bobi.
“Pagi pak!” Salam dari Salman dan Samir.
“Eh kalian, pagi pagi!” Jawab pak Bobi yang sedikit terkejut sambil memegang kertas koran di tangannya.
Sebelum memasuki kelas terdapat sebuah percakapan antara empat sahabat ini.
“Mau ketemu Dina ya hari ini?” Tanya Arif sambil membuka helm.
“Iya, Rif. Aku mau ketemuan sama Dina nanti saat pulang sekolah.” Jawab Salman.
“Ada salam, Man. Kamu dicari sama ustadz Mahmud tuh. Katanya kamu udah
jarang ikut taklim malam ahad.” Timpal Samir sambil menepuk pundak
Salman.
“Salam balik buat Ustadz. Aku sibuk akhir-akhir ini.” Jawab Salman sambil merunduk.
“Sibuk dengan Dina maksudmu? Sepertinya ada sesuatu yang kamu lupakan.” Ujar Arif sedikit kesal.
“Sesuatu apa?” Tanya Salman yang tampak tak mengerti.
“Kamu lupa pesan ustadz Mahmud. Bergaul dengan lawan jenis bisa merusak
hati. Kamu terlihat sangat dekat dengan Dina” Jawab Arif yang
mengarahkan pandangannya kearah lain.
“Sebenarnya memikirkan lawan jenis dan mampu membuatmu senang saja sudah
zina hati. Rasulullah juga berpesan agar menundukkan pandangan kepada
wanita.” Potong Samir.
“Betul kata kalian. Akan ku pikirkan lagi. Mir, ntar pulang sekolah kamu
pulang pake bis aja ya. Aku ke kelas duluan bro.” Jelas Salman dengan
wajah yang sedikit kusut.
Suasa menjadi canggung saat Salman meninggalkan sahabat-sahabatnya di
parkiran. Arif, Samir, dan Faris hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Wajah mereka bertiga tampak kesal. Mereka merasa bahwa Salman sudah
banyak berubah setelah mengenal Dina. Salman yang dahulu dikenal sebagai
pria yang jauh dari cinta lawan jenis. Hidupnya hanya dihabiskan untuk
beribadah dan teman-temannya. Kini, Salman hanya mengikuti hawa nafsunya
untuk mendekati wanita yang bukan mahramnya.
Waktu yang ditunggu Salman telah tiba. Di tengah terik panas matahari
Salman duduk di bawah Pohon Mangga di samping lapangan basket. Wajahnya
terlihat sumringah, tak ada kesedihan di dalam raut wajahnya.
Penampilannya berubah drastis. Salman sedikit terlihat keren waktu itu
dengan topi dan jaket yang baru dibelinya.
Namun setelah sejam menunggu, Dina tak kunjung menampakkan diri.
Wajah Salman yang semula gembira mendadak tampak kesal. Jaketnya yang
berwarna putih sedikit tampak kumal karena kotor terkena debu bangku.
Salman hanya bisa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sambil terus
menunggu pujaan hatinya. Ditambah lagi bibirnya yang masih bersiul.
Dari kejauhan tampak bang Amir sedang keluar dari kantor Koperasi.
Bang Amir keluar tak sendirian. Dia keluar besama adiknya. Mereka tampak
sehabis membeli sesuatu di koperasi. Saat hendak melewati pohon mangga,
bang Amir melihat Salman yang masih duduk di bangku yang terletak di
samping pohon mangga. Bang Amir yang keheranan pun menghampiri Salman
sambil berlari kecil.
“Assalamualaikum. Kok belum pulang, Man?” Tanya bang Amir.
“Waalaikumsalam. Belum, bang. Aku lagi nunggu Dina, nih.” Jawab Salman sambil tersenyum.
“Lho, Dina kan udah pulang dari tadi. Dia pulang sama teman sekelasku. Dina baru aja ditembak sama Aldo.” Ujar bang Salman.
“Yang bener, bang? Diterima nggak?” Tanya Salman yang sedikit panik dan berdiri dari bangkunya.
“Iya dong. Aldo kan ganteng, tinggi, dan pake motor CBR” Jawab bang Amir.
Setelah mendengar jawaban tersebut Salman langsung berlari meninggalkan bang Amir.
“Hei, Man mau kemana?” Tanya bang Amir.
Namun Salman tak menghiraukan pertanyaan bang Amir. Salman berlari
secepat mungkin. Dia berlari menuju termpat parkir sekolah. Dengan wajah
yang murung Salman meninggalkan sekolahnya. Perasaannya campur aduk
saat itu. Tak percaya, marah, sedih bercampur menjadi satu. Saat di
dalam perjalanan Salman memperoleh getaran di saku celananya. Namun
Salman tak menghiraukannya. Salman terus menyetir kuda besinya.
Saat di persimpangan jalan, Salman melihat Samir sedang menyebrangi
jalan. Tangan Salman melambai-lambai kepada Samir. Tetapi Samir tampak
terburu-buru dan tak sempat melihat lambaian tangan Salman. Dari jauh
tampak Samir sedang memasuki bus langganannya.
—
Tebaring di kasur dengan baju yang belum terlepas dari badannya.
Musik yang didengarkan dengan volume yang tinggi. Sprai kasur kamar yang
semula rapi menjadi berantakan tak tentu arah. Saat berbaring, Salman
teringat sesuatu akan getaran di saku celananya. Lantas dengan segera
Salman mengambil handphone dari saku celananya. Ternyata terdapat pesan
singkat dari Dina.
“Asslam, bg. Dina udh plg duluan.
Sry ya. Sbnarnya Dina mau blg kalo Dina udh jadian dgn bang Aldo.
Jgan terlalu sering sms Dina lg ya.
Tkut bg Aldo ntr marah. Sekali2 boleh kok.” Isi pesan singkat Dina di handphone Salman.
Sentak Salman melempar handphonenya ke kasur. Salman keluar dari
kamarnya dan berdiri di teras kamarnya. Salman berteriak tak jelas
berkali-kali. Tiba tiba saat Salman sedang asik berteriak, Arif, Samir,
dan Faris datang ke rumahnya dengan bersamaan.
“Hoi, Man! Berisik tau!” Teriak Arif dari bawah.
“Eh kalian, masuk-masuk. Pintu bawah nggak dikunci kok, ada bi ijah.” Ujar Salman.
Selama menunggu teman-temannya masuk, Salman duduk setengah jongkok
sambil memainkan bola pimpong di tangannya. Suasana sore yang indah
dinikmati di teras kamarnya. Kamarnya yang berada di lantai dua menambah
dingin suasana sore itu.
Tak lama berselang, ketiga temannya masuk ke kamarnya. Saat memasuki
kamar Salman mereka kebingungan karena kamar Salman terlihat kosong,
berantakan, dan musik tetap dinyalakan dengan volume yang tinggi.
“Assalamualaikum.” Salam mereka bertiga.
“Astaghfirullah, ini kamar atau kapal pecah.” Kata Faris sambil tertawa.
“Loh, Salmannya mana nih?” Tanya Samir sambil membereskan komik-komik Salman yang menjanggal pintu.
“Waalaikumsalam. Aku disini.” Jawab Salman dari luar kamarnya. Pandangan
ketiga temannya tertuju ke teras rumah. Arif, Samir, dan Faris pun
menghampiri Salman di teras kamar.
“Kok belum ganti baju? Baru pulang? Wajahmu kusut banget.” Tanya Arif sambil memegang lengan baju Salman.
“Iya, hari ini aku frustasi. Kesal banget.” Ujar Salman sambil melempar bola pimpong ke halaman rumahnya.
“Kenapa, Man? Cerita dong.” Kata Faris sambil merangkulnya.
“Dina malah jadian dengan kakak kelas. Aku nggak nyangka, padahal ketika
di sms dia bilang nggak mau pacaran. Dia bilang mau sekolah dulu,
pacaran kan dilarang oleh agama. Tapi tak seperti kenyataannya.” Jelas
Salman dengan mata yang berkaca-kaca.
“Alhamdulillah, bagus deh kalo begitu.” Jawab Arif sambil tersenyum dan memegang kepala Salman.
“Kok bagus, Rif?” Tanya Salman heran.
“Ya iya lah, seharusnya kamu bersyukur. Berarti Allah masih sayang sama
kamu. Dia nggak mau kamu jauh dari-Nya. Allah nggak ngasi kamu
kesempatan untuk masuk ke lembah kemaksiatan. Allah sudah sediakan jodoh
yang sholeha untuk kamu, kok. Tapi bukan sekarang.” Ujar Arif menghibur
Salman.
“Benar kata Arif. Hampir saja kamu jauh dari Allah.” Ucap Faris yang tersenyum lebar.
“Iya juga. Saat aku kenal Dina memang hidupku menjadi indah. Namun aku
menjadi banyak meninggalkan shalat dan jarang mengikuti masjlis taklim
ustadz Mahmud. Setiap malam aku habiskan hanya untuk smsan dengan Dina.
Astaghfirullah.”
“Ini jadi pelajaran untuk kita semua. Jauh dari wanita tak selamanya
sengsara. Lihat saja ketiga temanmu ini. Kami semua ceria aja, kan?
Karena kami semua menjaga diri dari zina dan kemaksiatan. Kami semua
rela untuk memantapkan kualitas diri untuk jodoh yang sholeha.” Jelas
Samir sambil menatap langit senja.
Mereka berempat saling berangkulan menantang senja. Mereka bercerita
apapun di teras kamar Salman hingga adzan maghrib berkumandang. Saat
adzan mereka bergegas masuk dan pergi ke masjid di dekat komplek Salman.
Mereka berjalan tegap melangkahkan kaki ke medan sholat. Mereka kembali
menjadi sahabat sholeh yang selalu menjunjung tinggi aturan Allah dan
sunnah Rasulullah.
Coretan Penulis :
Alhamdulillaah akhirnya cerpen yang gue buat kurang lebih seminggu ini bisa lolos moderasi lagi...oh ya jangan lupa ya terus berkarya di cerpenmu.com ! @annisabur_